Selasa, 24 Januari 2012

Rujuk dalam Islam


Rujuk Dalam Islam

A. Pengertian Rujuk
Rujuk adalah mengembalikan istri yang telah ditalak pada pernikahan yang asal sebelum diceraikan. Rujuk menurut bahasa artinya kembali (mengembalikan). Adapun yang dimaksud rujuk disini adalah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh mantan suami terhadap mantan istrinya dalam masa iddahnya dengan ucapan tertentu.
menurut bahasa Arab, kata ruju’ berasal dari kata raja’ a-yarji’ u-rujk’an yang berarti kembali, dan mengembalikan. Sedangkan secara terminology, ruju’ artinya kembalinya seorang suami kepada istrinya yang di talak raj’I, tanpa melalui perkawinan dalam masa ‘iddah. Ada pula para ulama mazhab berpendapat dalam istilah kata ruju’ itu adalah menarik kembali wanita yang di talak dan mempertahankan (ikatan) perkawinannya. Hukumnya, menurut kesepakatan para ulama mazhab, adalah boleh. Menurut para ulama mazhab ruju’ juga tidak membutuhkan wali, mas kawin, dan juga tidak kesediaan istri yang ditalak.
Firman Allah SWT Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Baqarah :228)
Dapat di rumuskan bahwa ruju’ ialah mengembalikan setatus hokum perkawinan secara penuh setelah terjadinya talak raj’I yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa idddah, dengan ucapan tertentu.
Dengan terjadinya talak raj’I. maka kekuasaan bekas suami terhadap istri menjadi berkurang, namun masih ada pertalian hak dan kewajiban antara keduanya selama istri dalam masa iddahnya, yaitu kewajiban menyediakan tempat tinggal serta jaminan nafkah, dan sebagai imbangannya bekas suami memiliki hak prioritas untuk meruju’ bekas istrinya itu dalam arti mengembalikannya kepada kedudukannya sebagai istri secara penuh, dan pernyataan ruju’ itu menjadi halal bekas suami mencampuri bekas istri yang dimaksud, sebab dengan demikain setatus perkawinan mereka kembali sebagai sedia kala.
Perceraian ada tiga cara, yaitu :
1. talaq bain qubra (talaq tiga). Laki-laki tidak boleh rujuk lagi dan tidak sah menikah lagi dengan bekas istrinya itu, keculi apbila si istri sudah menukah dengan orang lain, sudah campur, sudah diceraikan, sudah habis pula masa iddah, barulah suami pertama boleh menikahinya lagi.
2. Talaq bain sughra (talaq tebus) dalam hal ini sumai tidak sah rujuk lagi, tetapi bileh menikah lagi, baik dalam pada masa iddah maupun sesuadah habis iddah.
3. Talaq satu atau talaq dua, dinamakan talaq raj’i. artinya si suami boleh rujuk kembali kepada istrinya selama msih dalam masa iddah.
B. Hukum Rujuk
a. Wajib khusus bagi laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu jika salah seorang ditalak sebelum gilirannya disempurnakannya.
b. Haram apabila rujuk itu, istri akan lebih menderita.
c. Makruh kalau diteruskan bercerai akan lebih baik bagi suami istri
d. Jaiz, hukum asal Rujuk.
e. Sunah jika rujuk akan membuat lebih baik dan manfaat bagi suami istri
1. hukum ruju’ terhadap talak raj’I
kaum muslimin telah sepakat bahwa suami mempunyai hak meruju; istrinya selama istrinya itu dalam masa iddah, dan tidak atau tanpa pertimbangan seorang istri ataupun persetujuan seorang istri. Sesuai dengan pengertian surat Al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi ”Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu.”
2. hukum ruju’ terhadap talak ba’in
talak ba’in kadang-kadang terjadi dengan bilangan talak kurang dari tiga, dan ini terjadi pada istri yang belum digauli tanpa diperselisihkan lagi, dan pada istri
yang menerima khulu’ dengan terdapat perbedaan pendapat didalamnya. Hukum ruju’ setelah talak tersebut sama dengan nikah baru.
Mazhab empat sepakat bahwa hukum wanita seperti itu sama dengan wanita lain (bukan istri) yang untuk mengawinkannya kembali disyaratkan adanya akad. Hanya saja dalam hal ini selesainya ‘iddah tidak dianggap sebagai syarat.
a. talak ba’in karena talak tiga kali.
Mengenai istri yang ditalak tiga kali, para ulama mengatakan bahwa ia tidak halal lagi bagi suaminya, kecuali si istri menikah dengan orang lain, dengan syarat si istri sudah di tiduri oleh suami tersebut. Dan pasangan suami istri tersebut bercerai. Kemudian sang suami pertama merujuknya kembali dengan acara akad nikah baru.
Sa’id Al-Musyyab berbeda sendiri pendapatnya dengan mengatakan bahwa istri yang ditalak tiga kali boleh kembali kepada suaminya yang pertama dengan akad nikah yang sama, ia berpendapat bahwa nikah yang dimaksudkan adalah untuk semua akad nikah.
b. nikah muhallil
dalam hal ini Fuqaha berselisih pendapat mengenai nikah muhallil. Yakni jika seorang laki-laki mengawini seorang perempuan dengan syarat (tujuan) untuk menghalalkannya bagi suami yang pertama.
Menurut Imam Malik nikah tersebut sudah rusak, sedangkan menurut imam Syafi’I dan Abu Hanifah perpendapat bahwa nikah muhallil dibolehkan, dan niat untuk menikah itu tidak mempengaruhi syahnya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Daud dan segolongan fuqaha. Mereka berpendapat bahwa pernikahan tersebut menyebabkan kehalalan istri yang di ceraikan tiga kali.
3. perbedaan pendapat para ulama mazhab tentang terjadinya ruju’ melalui perbuatan.
a. Imam Syafi’i
Rujuk harus dilakukan dengan ucapan atau tulisan. Karena itu, ruju’ tidak sah bila dilakukan dengan mencampurinya sesungguhpun hal itu diniatkan sebagai ruju’. Suami haram mencampurinya dalam ‘iddah. Kalau dia melakukan itu, ia harus membayar mahar mitsil, sebab percampuran tersebut tergolong pencampuran syubhat.
b. Imam Malik
Ruju’ boleh dilakukan melalui perbuatan yang di sertai dengan niat untuk ruju’. Akan tetapi bila suami mencampuri istrinya tersebut tanpa niat ruju’, maka wqnita tersebut tidak akan bias kembali kepadanya. Namun percampuran tersebut tidak mengakibatkan adanya hadd (hukuman) maupun keharusan membayar mahar. Anak yang lahir dari perempuan dikaitkan nasabnya kepada laki-laki yang mencampurinya itu. Wanita tersebut harus menyucikan dirinya dengan haidh manakala dia tidak hamil.
c. Imam Hambali
Ruju’ hanya terjadi melalui percampuran begitu terjadinya percampuran, maka ruju’ pun terjadi, sekalipun laki-laki tersebut tidak berniat ruju’. Sedangkan bila tindakan itu bukan percampuran, misalnya sentuhan ataupun ciuman yang disertai birahi dan lain sebagainya, sama sekali tidak mengakibatkan terjadinya ruju’
d. Imam Hanafi
Ruju’ bias terjadi melalui percampuran, sentuhan dan ciuman, dan hal-hal sejenis itu, yang dilakukan oleh laki-laki yang menalak dan wanita yang ditalaknya, dengan syarat semuanya itu disertai dengan birahi. Ruju’ juga bisa terjadi melalui tindakan (perbuatan) yang dilakukan oleh orang tidur, lupa, dipaksa, dan gila. Misalnya seorang laki-laki menalak istrinya, kemudian dia terserang penyakit gila, lalu istrinya itu dicampurinya sebelum ia habis masa iddahnya.
e. Imamiyah
Rujuk bisa terjadi melalui percampuran, berciuman dan bersentuhan, yang disertai syahwat atau tidak dan lain sebagainya yang tidak halal dilakukan kecuali oleh suami. Ruju’ tidak membutuhkan pendahuluan berupa ucapan. Sebab, wanita tersebut adalah istrinya, sepanjang dia masih dalam masa iddah. Dan bahkan perbuatan tersebut tidak perlu disertai niat ruju’. Penyusun kitab Al-Jawahir mengatakan, “barangkali tujuan pemutlakan nash dan fakta tentang ruju’ adalah itu, bahkan ruju’ bisa terjadi melalui perbuatan sekalipun disertai maksud tidak ruju;.” Sayyid Abu Al-Hasan mengatakan dalam Al-Wasilahnya,”perbuatan tersebut mengandung kemungkinan kuat sebagai ruju’, sekalipun dimaksudkan bukan ruju;.” Tetapi. Bagi Imamiyah, tindakan tersebut tidak dipandang berpengaruh manakala dilakukan oleh orang yang tidur, lupa, dan mengalami syubhat, misalnya bila dia mencampuri wanita tersebut karena menduga bahwa wanita tersebut bukan istrinya yang dia talak.
C. Rukun Rujuk
1. Istri, syaratnya pernah dicampuri, talak raj’i, dan masih dalam masa iddah, isteri yang tertentu yaitu kalau suami menalak beberapa istrinya kemudian ia rujuk dengan salah seorang dari mereka dengan tidak ditentukan siapa yang dirujukan-maka rujuknya itu tidak sah.
2. Suami, syaratnya atas kehendak sendiri tidak dipaksa
3. Saksi yaitu dua orang laki-laki yang adil.
4. Sighat (lafal) rujuk ada dua, yaitu
1) terang-terangan , misalnya “Saya rujuk kepadamu”2) perkataan sindiran, misalnya “Saya pegang engkau” atau “saya kawin engkau” dan sebagainya, yaitu dengan kalimat yang boleh dipakai untuk rujuk atau yng lainnya.
Rujuk dengan perbuatan (campur)
Perbedaan pendapat juga terjadi pada hokum rujuk dengan perbuatan. Syafi’I berpendapat tidak sah, karena dalam ayat alqur’an Allah menyuruh supaya rujuk dipersaksikan, sedangkan yang dapat dipersaksikan hanya sigat (perkataan). Perbuatan seperti itu sidah tentu tidak dapat dipersaksikan oleh orang lain. Akan tetapi, menurut pendapat kebanyakan ulama, rujuk dengan perbuatan itu sah. Mereka beralasan kepada firman Allah dalam surat Al-baqarah : 228 yang artinya : “ dan suami-suami berhak merujuknya”
Dalam ayat tersebut tudak ditentukan apakah dngan perkataan atau perbuatan. Hokum mempersaksikan dalam ayat diatas hanyalh sunat, bukan wajib. Qarinahnya adalah kesepakatan ulama (ijma’) bahwa mempersaksikan talaq-ketika menalaq-tidak wajib: demikian pula hendaknya ketika rujuk, apalgi beratri rujuk itu meneruskan pernikahan yang lama, sehingga tidak perlu wali dan tidak perlu ridho orang yang dirujuki. Mencampuri istri yang sedang dalam iddah raj’iyah itu halal bagi suai yang menceraikannya, menurut pendapat abu hanifah. Dasarnya krena dalam ayat itu ia masih disebut suami.
Rujuk itu sah juga meskipun tidak dengan ridho si perempuan dan atas sepengetahuannya karena rujuk itu berate mengekalkan pernikahan yang telah lalu. Kalau seorang perempuan dirujuk oleh suaminya sedangkan ia tidak tahu, kemudian setelah lepas iddahnya perempuan itu menikah dengan laki-laki lain karena dia tidak mengetahui bahwa suaminya rujuk kepadanya, maka nikah yang kedua ini tidak sah dan batal dengan sendirinya dan perempuan tersebut harus dikembalikan kepada suaminya.

talak dalam islam

Menurut Wahbah Zuhaili marah (ghadhab) ada dua. Pertama, marah biasa yang tak sampai menghilangkan kesadaran atau akal, sehingga orang masih menyadari ucapan atau tindakannya. Kedua, marah yang sangat yang menghilangkan kesadaran atau akal, sehingga seseorang tak menyadari lagi ucapan atau tindakannya, atau marah sedemikian rupa sehingga orang mengalami kekacauan dalam ucapan dan tindakannya. (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 9/343).
Para fuqaha sepakat jika suami menjatuhkan talak dalam keadaan marah yang sangat (kategori kedua), talaknya tidak jatuh. Sebab ia dianggap bukan mukallaf karena hilang akalnya (za`il al-aql), seperti orang tidur atau gila yang ucapannya tak bernilai hukum. Dalilnya sabda Nabi SAW,“Diangkat pena (taklif) dari umatku tiga golongan : anak kecil hingga baligh, orang tidur hingga bangun, dan orang gila hingga waras.” (HR Abu Dawud no 4398). (Ibnul Qayyim, Zadul Ma’ad, 5/215; Sayyid Al-Bakri, I’anah al-Thalibin, 4/5; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 9/343; Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 29/9).
Namun fuqaha berbeda pendapat mengenai talak yang diucapkan dalam keadaan marah biasa (thalaq al-ghadbaan). Pertama, menurut ulama mazhab Hanafi dan sebagian ulama mazhab Hambali talak seperti itu tak jatuh. Kedua, menurut ulama mazhab Maliki, Hambali, dan Syafi’i, talaknya jatuh. (Hani Abdullah Jubair, Thalaq al-Mukrah wa al-Ghadbaan, hal. 19; Ibnul Qayyim, Ighatsatul Lahfan fi Hukm Thalaq al-Ghadban, hal. 61).
Pendapat pertama antara lain berdalil dengan hadits ‘A`isyah RA bahwa Nabi SAW bersabda,”Tak ada talak dan pembebasan budak dalam keadaan marah (laa thalaqa wa laa ‘ataqa fi ighlaq).” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah). (Musthofa Al-‘Adawi, Ahkam Al-Thalaq fi al-Syari’ah al-Islamiyah, hal. 61).
Pendapat kedua antara lain berdalil dengan riwayat Mujahid, bahwa Ibnu Abbas RA didatangi seorang lelaki yang berkata,”Saya telah menjatuhkan talak tiga kali pada isteriku dalam keadaan marah.” Ibnu Abbas menjawab,”Aku tak bisa menghalalkan untukmu apa yang diharamkan Allah. Kamu telah mendurhakai Allah dan isterimu telah haram bagimu.” (HR Daruquthni, 4/34). (Hani Abdullah Jubair, Thalaq al-Mukrah wa al-Ghadbaan, hal. 24).
Menurut kami, yang rajih (kuat) adalah pendapat kedua, yakni talak oleh suami dalam keadaan marah tetap jatuh talaknya. Alasannya, hadits ‘A`isyah RA meski menyebut talak orang yang marah tak jatuh, tapi yang dimaksud sebenarnya bukan sekedar marah (marah biasa), melainkan marah yang sangat. Imam Syaukani menukilkan perkataan Ibnu Sayyid, bahwa kalau marah dalam hadits itu diartikan marah biasa, tentu tidak tepat. Sebab mana ada suami yang menjatuhkan talak tanpa marah. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1335).
Kesimpulannya, suami yang menjatuhkan talak dalam keadaan marah dianggap tetap jatuh talaknya. Sebab kondisi marah tidak mempengaruhi keabsahan tasharruf (tindakan hukum) yang dilakukannya, termasuk mengucapkan talak. Kecuali jika kemarahannya mencapai derajat marah yang sangat, maka talaknya tidak jatuh. Wallahu a’lam.

Nikah Dalam Islam

Definisi Nikah
Arti Nikah Menurut bahasa: berkumpul atau menindas. Adapun menurut istilah Ahli Ushul, Nikah menurut arti aslinya ialah aqad, yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara lelaki dan perempuan, sedangkan menurut arti majasi ialah setubuh. Demikian menurut Ahli Ushul golongan Syafi’iyah. Adapun menurut Ulama Fiqih, Nikah ialah aqad yang di atur oleh Islam untuk memberikan kepada lelaki hak memiliki penggunaan terhadap faraj (kemaluan) dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan utama.
Hukum Nikah
Hukum nikah menurut asalnya (taklifiyah) adalah mubah. Yakni tidak mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan tidak mendapat ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan.

Nikah menurut majasi (wadl’iyah) ada empat kemungkinan:
1.      Kemungkinan bisa menjadi Sunnah bila Nikah menjadikan sebab ketengan dalam beribadah. Mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan tidak mendapat ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan.
2.      Kemungkinan bisa menjadi wajib bila Nikah menghindarkan dari perbuatan zina dan dapat meningkatkan amal ibadah wajib. Mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan mendapat ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan.
3.      Kemungkinan bisa menjadi haram bila nikah yakin akan menimbulkan kerusakan. Mendapat ancaman siksa bagi orang yang mengerjakan dan dan mendapat pahala bagi orang yang meninggalkan.
4.      Kemungkinan bisa menjadi makruh karena berlainan kufu. Mendapat pahala bagi orang yang meninggalkan dan tidak mendapat ancaman bagi orang yang mengerjakan.
Pelaksanaan Nikah
Menurut hukum Islam, praktik Nikah ada tiga perkara:
1.      Nikah yang sah ialah: pelaksanaan akad nikah secara benar menurut tata cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan, dan mengetahui ilmunya. Nikah seperti ini mendapat pahala dari Allah SWT.
2.      Nikah yang sah tetapi haram ialah: Pelaksanaan akad nikah secara benar sesuai tata cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan tetapi tidak mengetahui ilmunya. Praktik nikah seperti ini jelas berdosa.
3.      Nikah yang tidak sah dan haram ialah: Pelaksanaan akad nikah yang tidak sesuai tata cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan, karena tidak mengetahui ilmunya dan praktiknya juga salah. Selain tidak benar praktik nikah seperti ini mengakibatkan berdosa.
Rukun Nikah
Rukun adalah bagian dari sesuatu, sedang sesuatu itu takkan ada tanpanya.Dengan demikian, rukun perkawinan adalah ijab dan kabul yang muncul dari keduanya berupa ungkapan kata (shighah). Karena dari shighah ini secara langsung akan menyebabkan timbulnya sisa rukun yang lain.
o Ijab: ucapan yang terlebih dahulu terucap dari mulut salah satu kedua belah pihak untuk menunjukkan keinginannya membangun ikatan.
o Qabul: apa yang kemudian terucap dari pihak lain yang menunjukkan kerelaan/ kesepakatan/ setuju atas apa yang tela siwajibkan oleh pihak pertama.
Dari shighah ijab dan qabul, kemudian timbul sisa rukun lainnya, yaitu:
o Adanya kedua mempelai (calon suami dan calon istri)
o Wali
o Saksi
Shighah akad bisa diwakilkan oleh dua orang yang telah disepakati oleh syariat, yaitu:
o Kedua belah pihak adalah asli: suami dan istri
o Kedua belah pihak adalah wali: wali suami dan wali istri
o Kedua belah pihak adalah wakil: wakil suami dan wakil istri
o Salah satu pihak asli dan pihak lain wali
o Salah satu pihak asli dan pihak lain wakil
o Salah satu pihak wali dan pihak lain wakil

Syarat-syarat Nikah
Akad pernikahan memiliki syarat-syarat syar’i, yaitu
terdiri dari 4 syarat:
o Syarat-syarat akad
o Syarat-syarat sah nikah
o Syarat-syarat pelaksana akad (penghulu)
o Syarat-syarat luzum (keharusan)
1. Syarat-syarat Akad
a). Syarat-syarat shighah: lafal bermakna ganda, majelis ijab qabul harus bersatu, kesepakatan kabul dengan ijab, menggunakan ucapan ringkas tanpa menggantukan ijab dengan lafal yang menunjukkan masa depan.
b). Syarat-syarat kedua orang yang berakad:
± keduanya berakal dan mumayyiz
± keduanya mendengar ijab dan kabul , serta memahami maksud dari ijab dan qabul adalah untuk membangun mahligai pernikahan, karena intinya kerelaan kedua belah pihak.
c). Syarat-syarat kedua mempelai:
o suami disyaratkan seorang muslim
  • istri disyaratkan bukan wanita yang haram untuk dinikahi, seperti; ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi dari bapak dan dari ibunya.
o disyaratkan menikahi wanita yang telah dipastikan kewanitaannya, bukan waria.